Kamis, 11 November 2010

idealisme bukan pakaian

hendak kuberikan buah dari suatu pemikiran mungil, dari makhluk kecil dan hina di kehidupan ini, dari makhluk yang tiada bobot apapun padanya-diri ini-manusia… suatu sore di tengah lambaian angin, di dalam gejolak tanda tanya yang menyala di otak ini…
Keberanian, apa itu keberanian yang kita kenal selama ini? Sebagian menggambarkan dengan aksi, identik dan juga tak terpisahkan dari sebuah proses yang selama ini menjadi konsen kita, perubahan. Definisi yang terangkum ketika ‘keberanian’ muncul adalah ibarat Gie dan teman-temannya yang berkumpul merencanakan pemberontakan, ibarat para kaki tangan sistem konspirasi yang berbisik-bisik tentang siasatnya, ibarat beragam hal yang tidak wajar, seringkali membelakangi arus dan tentunya berisiko.
Bagaimanapun gambaran kita tentangnya, mungkin akan berbeda tiap orang, tergantung kepada pada titik riskan mana dalam kehidupan ketika dia harus memilih, sehingga dalam pilihannya terasa semerbak aroma keberanian yang kental. Keberanian, mestinya kita tahu dari awal- bahwa ia bukanlah pakaian, ia bukan suatu hal yang dapat kita bawa hingga mati nanti, tentu jauh berbeda dengan iman… keberanian hanya sebuah alat, sebuah media di mana melaluinya kita dapat merealisasikan keyakinan-keyakinan kita. Di mana setiap orang yang merasa dirinya hidup praktis akan membutuhkan keberanian demi mewujudkan keyakinannya. Hidup di sini, dalam artian yang tidak dibatasi hanya pada definisi biologis/ fisik, tapi tentu secara spesifik menyorot keadaan kesadaran dari ruh-nya, nyawanya.
permasalahan ruh tiadalah kita tahu, melainkan hanya sedikit.
Keberanian bukan untuk menjadi kebanggaan. Ialah sebuah kekuatan yang tidak sembarang orang memilikinya. Keberanian ibarat sebilah pedang yang seusai menggunakannya harus kita simpan kembali, atau bila tidak mata pedangnya akan menusuk jantung kita sendiri.
Keberanian, senjata pelengkap idealisme. Idealisme yang benar sekalipun tidak akan berdiri tanpa keberanian, hanya akan rapuh oleh mimpi-mimpinya yang tidak pernah menapak tanah, lantas cukup menjadi suatu benda yang dapat dibeli dengan omongan kosong tiada arti- tentang hakikat kehidupan yang ideal bagi pihak-pihak tertentu saja…
Kembali kepada perumpamaan pedang, sekalipun idealisme sudah berhasil ditegakkan, bila pedang keberanian tetap pada posisinya yang menantang langit dengan penuh keangkuhan, ia hanya akan membunuh sang induk, ia hanya akan mengalahkan idealisme itu sendiri.
Karena orang lebih membanggakan kemampuan untuk menegakkan idealisme. Karena orang-orang ingin memusatkan perhatian mereka pada kisah heroik tentang keberanian, dan meninggalkan begitu saja sang tokoh utama

Seperti kita, manusia yang penuh lupa dan khilaf- kita tahu, di mana kutub positif dan negatif saling menatap tajam diri kita, yang berada pada medan di antara keduanya, menarik kita ke arah yang saling berlawanan. Dan kita tahu, jalan mana yang kita pilih. Tapi bila setiap saat kita hanya bisa pamer tentang ideologi kita, mencap diri kita yang paling baik dan melucuti keunggulan orang lain dengan alasan mereka hanya orang-orang bertopeng- mereka tidak tulus, atau segudang tudingan lainnya… satu hal yang terbukti dari semua tindakan kita itu adalah bahwa kita tidak lebih daripada orang-orang yang memakaikan keberanian sebagai pakaian, membawanya ke manapun, bukan menggunakannya secara strategis… mengupayakan agar semua orang tahu keberanian kita bukan mengupayakan agar ideologi kita- dan segala sisi positifnya, sebagi suatu sudut pandang yang patut dipertimbangkan oleh mereka.
Dan kecerobohan akan keangkuhan ini, semoga saja cukup membentur kita sampai di sini, membuat kita menyandangkan keberanian pada tempatnya, dengan kekuatan yang strategis, bukan omong kosong lagi…

Sabtu, 30 Oktober 2010

Ketika 26 Oktober 2010...

Bismillaahirrahmaanirrahiim…
Di bawah naungan awan hitam, berduka kami atas musibah yang menimpa saudara-saudari kita di atas sana… Seperti kabar yang dipublikasikan, Kinahrejo menjadi sebuah potret dari dahsyatnya erupsi Merapi. Tak berhenti pada tanggal 26 Oktober 2010, beberapa hari kemudian wedus gembel atau yang (kalau tidak salah) saya dengar- piroklastik masih terus dihasilkan oleh gunung yang konon merupakan teraktif di dunia ini.

Tidak sedikit nyawa yang melayang, harta benda, hijaunya Merapi juga kenangan-kenangan tentang kehidupan yang pernah ada di sana, kini telah tertutup debu tebal… bak kota mati.
Namun saling menyalahkan sama sekali jauh dari idealnya sikap yang semestinya kita lakukan. Apalagi duka ini bukan tuk kita berlarut-larut padanya, betapapun rasa kehilangan itu pasti ada, tapi bangkitlah! Menata kembali kehidupan dengan penuh harapan. Karena Tuhan tidaklah mendzalimi hamba-Nya,

“Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS Huud: 117)

Apapun itu sisi yang kita dapat sebagai hubungan sebab-akibat dari kejadian Merapi ini, mungkin yang dapat kita gapai hanyalah yang terbatasi oleh dimensi logika manusia, sementara kita tahu pengetahuan manusia hanya terbatas. Sudah saatnya mengumpulkan segala emosi yang berkecamuk di hati ini untuk membuat suatu kesimpulan, yang membawa kita tuk berserah pada-Nya. Bisa jadi musibah atau ujian, hanya Allah yang tahu. Bagi kita, sepotong kisah tentang Merapi ini semoga dapat menjadi sumber yang dapat kita gali terus sebagai bahan introspeksi…

Jumat, 29 Oktober 2010

Hai..!

this is my first day to managing a blog!
semoga nggak gagal di tengah jalan kaya blog yang udah-udah deh :)
nantikan postingan artikel pertama yaa..